Jumat, 20 Maret 2009

Jalan Hidup Sepetik Bunga

Lihatlah sepetik bunga. Dahulu ia hanyalah kuncup tanpa pesona. Tak ada mata yang melirik. Keberadaannya adalah beban bagi tangkai kecil yang menopangnya. Juga bagi daun, batang, dan akar yang harus bekerja menghidupinya. Dia hidup dalam selimut hijau yang menghijabnya dari sekeliling. Dia tak mengenal dunia, dan dunia pun tak mengenalnya. Hingga jika tidak beruntung, dia akan terinjak hancur oleh kaki-kaki binatang. Atau termakan begitu saja oleh mulut-mulut kelaparan mereka. Kuncup yang tak menarik sama sekali, dan begitulah adanya kuncup. Namun kuncup adalah kotak peyimpanan.

Suatu hari terbukalah kuncup itu. Menyingkap keindahan yang menyapa dunia. Berseri, itulah bunga. Harumnya semerbak, mengundang setiap makhluk mendekat. Menghiasai padang rumput dengan warna-warninya bagaikan kaca-kaca berkilauan yang menguraikan cahaya matahari. Atau pecahan-pecahan pelangi yang turun ke daratan. Mahkotanya dicari untuk melambangkan cinta, kedamaian, dan persaudaraan. Kemudian lebah menghampirinya karena sang bunga menyimpan bahan pembuat sebaik-baik makanan, yaitu madu. Keindahannya mengundang keindahan lain, kupu-kupu bertaburan. Kini jika seseorang hendak mengambilnya, dia akan memetiknya dengan penuh kelembutan tanpa menyakiti.

Namun hari terus berganti. Sang bunga telah kelelahan. Satu persatu mahkotanya jatuh, melucuti keindahannya. Wanginya menghambar. Tak ada lagi yang mendekat. Warnanya perlahan memudar, menjadi kuning pucat, dan akhirnya baju-bajunya kering tergeletak di tanah. Kembalilah dia menjadi lemah, tanpa pesona. Tak ada yang mengenalnya lagi, meskipun dia telah mengenal dunia. Pada akhirnya semua harus dia tinggalkan. Kebanggaan dan semua yang pernah dimilikinya kini hanya tinggal masa lalu.

Seandainya hati memperhatikan untuk merenungkannya, maka simaklah Allah berfirman “Katakanlah; Ya Allah, Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yag hidup. Dan Engkau beri rizki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab” (Ali Imran 26-27).

Hikmah yang dalam bahkan bisa diambil dari hal terdekat. Allah menciptakan ayat kauniyah yang bertaburan tak terbatas. Simaklah sang bunga, dan begitulah adanya kehidupan manusia. Lahir dalam keadaan tak berdaya dan lemah. Kemudian ada saatnya Allah membalikkan keadaannya. Memberikan rizki dan menjadikannya memiliki kekuatan, harta, kecantikan, kekuasaan, kecerdasan, apapun yang menjadikannya berdiri kokoh di muka bumi.

Dan Allah, sungguh akan mengambil semuanya kembali. Menyisakannya menjadi tua dan lemah. Kekuatannya hilang, hartanya menipis, kecantikannya mengeriput, kekuasaannya tergantikan, dan kecerdasannya menjadi kepikunan. Dan akhirnya kematian menjemput. Andaikata semuanya berakhir seperti ini, sungguh menyedihkan nasib manusia ini.

Namun gugurnya keindahan bunga bukan akhir baginya. Jika dia berbuat hal yang benar selama menjadi bunga, maka dia akan berubah menjadi buah. Tapi jika dia terlalaikan oleh keagungan dirinya, maka dia akan membusuk. Dan bukankah tujuan keberadaan bunga adalah memang untuk menjadi buah ? Sebagaimana keberadaan manusia di dunia adalah untuk meraih alam sesudah dunia. Sesungguhnya hidup ibarat menyusuri sebuah jalan. Dan setiap orang pasti akan sampai di ujungnya. Masalahnya, apa yang dilakukan selama perjalanan akan menentukan apa yang akan ditemui di ujung jalan. Apakah manisnya buah atau pahitnya kehinaan.

Read More..

Jumat, 13 Maret 2009

Segerakan Cinta

“I’am LEGEND”. Film ini berisi sebuah hikmah mengharukan. Dikisahkan bahwa Robert Neville, tokoh utama dalam film ini adalah satu-satunya manusia yang tersisa. Sebuah virus telah membunuh seluruh penduduk bumi. Jikapun masih ada yang hidup, maka dia telah menjadi mahluk tanpa jati diri tak ubahnya binatang buas. Settingnya di kota New York, dimana rumah, gedung, mobil, dan semua gemerlap kota ini masih utuh. Hanya saja tanpa satupun manusia.

Tiga tahun Neville hidup dalam kesendirian. Setiap hari dia pergi ke tepi pelabuhan, berharap ada seseorang di sana. Kesepian. Dia sengaja menata boneka etalase di sebuah pertokoan untuk disapa. Dia ajak bicara, bercanda. Meskipun dia pun tahu, tidak satupun yang akan membalas. Dan ketika seekor anjing yang selama ini menjadi satu-satunya teman juga harus mati, kesedihannya mencapai puncak. Seluruh dunia adalah miliknya. Bebas melakukan apapun. Bebas mengambil apapun. Tapi dia tidak memiliki siapapun.

Kesendirian adalah kepedihan. Perih hati yang naik memerihkan tenggorokan. Merambat berupa loncatan loncatan super kecil melewati kulit. Memerindingkan. Normalnya setiap kesedihan hilang dalam pelukan orang-orang yang engkau kasihi. Tapi dalam kesedihan karena kesendirian, engkau tak akan menemukan siapapun. Engkau menanggungnya sendiri, melipatkannya ratusan kali. Hingga jika tak kuat hati menahannya, kiranya kematian mungkin jauh lebih menyenangkan.

Sesungguhnya fitrah manusia tak menghendaki kesendirian. Fitrah yang tentu saja dimengerti oleh penciptanya. Maka Allah menciptakan Hawa sebagai teman bagi Adam. Sehingga Adam tak lagi sendirian. Keduanya beranak cucu, melahirkan generasi demi generasi yang mendiami bumi. Namun, ancaman kesendirian ternyata tak juga hilang. Bukankah engkau juga tahu bahwa kesendirian bisa muncul bahkan dalam keramaian ?

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu dan darinya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya engkau saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu” (An Nisa 1). Ibnu Katsir menerangkan bahwa diri yang satu merujuk pada Adam. Kini engkau dapat merenung, mengapa Allah menganjurkan memelihara silaturrahim sesudah mengingatkan tentang perkembangbiakan manusia ?

Manusia telah memenuhi bumi. Logikanya mudah, jika engkau tidak memelihara silaturrahim, maka engkau akan sendiri dalam keramaian. Kesepian dalam lalu lalang manusia. Maka berhati-hatilah, betapa banyak orang lebih rela mengkhianati teman-temannya dengan alasan meraih kesuksesan. Berapa banyak pula ayah yang selalu menginggalkan putra putrinya dengan alasan meniti karir. Dan berapa banyak yang mengabaikan untuk menuangkan pelukan cinta kepada saudaranya. Bukankah hampir-hampir menjadi kewajaran mengorbankan manusia demi harta benda ?

Dan perhatikan apa yang terjadi ketika orang-orang ini telah mencapai puncak. Teman-temannya telah tiada, keluarganya jauh darinya, saudaranya meninggalkannya. Yang tersisa hanya kekosongan, kesendirian, dan kesepian. Ruang hatinya sunyi hampa tak bersuara. Mereka memiliki semuanya, tapi tidak memiliki siapapun. Maka jika engkau memiliki orang-orang yang engkau kasihi, limpahkanlah cintamu selagi mereka masih di sisimu. Karena jika suatu saat nanti yang engkau bisa lakukan hanyalah merindukannya, maka itu akan sangat menyakitkan.

Segerakanlah ungkapan kasih agar tak terlambat kelak. Imam Ahmad telah meriwayatkan sebuah teladan penyegeraan ini dari Anas bin Malik : “Aku sedang duduk-duduk di sisi Rasulullah. tiba-tiba seorang laki-laki lewat. Seseorang dari yang sedang duduk bersama Rasulullah. mengatakan, ‘Ya Rasulullah, aku mencintai orang itu’. Rasulullah mengatakan, ‘Sudahkah kamu menyatakannya kepadanya?’ Orang itu menjawab, ‘Belum.’ Kata Rasulullah, ‘Bangunlah dan nyatakanlah kepadanya.” Maka orang itu bangkit menuju ke arahnya seraya mengatakan, ‘aku mencintaimu karena Allah’ Orang itu menjawab, ‘semoga mencintaimu pula (Allah) Yang karena-Nya kamu mencintaiku.

Read More..

Minggu, 01 Maret 2009

Individu Pembangun Masyarakat

Umar bin Khattab dihadapkan pada sebuah konflik hati. Sahabat nabi yang masuk dalam jajaran utama ini memerlukan kepastian. Umar yang disegani oleh seluruh orang Arab. Umar yang pernah merasakan pahitnya berteman akrab dengan kejahiliyahan. Kini berhadapan kembali dengan sisa-sisa teman lamanya itu. Allah telah menurunkan pengharaman khamr. Masalahnya, Umar adalah seorang jagoan minum khamr. Sebagaimana bangsa Arab umumnya, yang telah menganggap khamr sebagai minuman sehari-hari. Khamr pada waktu itu sedikit banyak didudukkan layaknya kopi atau teh pada masa sekarang.

Dilema yang luar biasa mendorongnya melantunkan do’a ”ya Allah terangkanlah kepada kami masalah khamr sejelas-jelasnya”. Imam Ahmad meriwayatkan, setelah itu Allah menurunkan sebuah ayat ”Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, pada keduanya itu terdapat dosa besar” (Al Baqarah 219). Umar mendengarkan, tapi dia belum juga mantap. Pertarungan dalam dirinya masih menghendaki penegasan. Umar kembali berdo’a ”ya Allah terangkanlah kepada kami masalah khamr sejelas-jelasnya”. Kemudian Allah kembali menurunkan ayat ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sedangkan kamu dalam keadaan mabuk” (An Nisa 43).

Umar masih belum puas juga dan berdo’a lagi ”ya Allah terangkanlah kepada kami masalah khamr sejelas-jelasnya”. Sekali lagi sebuah ayat diturunkan ”Sesungguhnya syaitan itu bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran khamr dan berjudi, serta menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat. Maka berhentilah kamu !” (Al Maidah 91). Umar dipanggil kemudian dibacakanlah ayat ini. Ketika sampai pada kalimat ”Maka berhentilah kamu !”, Umar tunduk, tak ada lagi persangkaan lain, tak ada lagi celah, hapus sudah semua perlawanan. Allah telah menegaskan perintah-Nya dengan tanpa pintu untuk menghindar. Umar menunjukkan ketaatannya dengan mengatakan ”Kami berhenti... kami berhenti... ”.

Barusan adalah pelajaran tentang totalitas penyerahan diri. Pembuktian kesetian dan cinta. Karena keduanya tidak cukup berhenti di mulut saja. Kesetiaan dan cinta membutuhkan bukti, bukan sekedar kata-kata manis dan sandiwara semu. Hingga jangan sampai ketakwaan bertepuk sebelah tangan. Dan ketika tingkatan telah naik kepada kumpulan manusia, akumulasi dari individu-individu dengan totalitas seperti ini akan menciptakan fenomena yang sukar dipercaya.

Dari individu ke masyarakat. Dari sebuah amal pribadi kepada aksi massa dengan kekuatan berlipat-lipat. Masyarakat yang dibangun dalam kualitas ini, telah membuktikan dirinya mampu mengungguli segala bangsa. Sebagai hasilnya, masyarakat impian yang mengisi hari-harinya dalam keberkahan yang diturunkan Allah dari langit dan bumi. Sehingga bagaimanapun, masyarakat yang berkualitas dibangun dari individu-individu berkualitas.

Dengan cermin yang terang, masyarakat seperti ini pernah benar-benar ada. Masyarakat yang tunduk patuh kepada syari’at Allah, mengharamkan apa yang diharamkan Allah, melakukan apa yang diperintahkan, walaupun harus berbenturan dengan kebiasaan-kebiasaan yang telah mengakar. Adalah Madinah Al Munawarah membuktiannya.

Ketika telah jelas pengharaman khamr, jalan-jalan Madinah banjir khamr. Masyarakat Madinah yang biasa menyimpan khamr dalam bejana-bejana keluar kemudian menumpahkannya di jalan-jalan. Sampai-sampai seorang yang saat itu juga sedang memegang gelas berisi khamr spontan memuntahkannya.

Dan simaklah penuturan Aisyah memuji wanita-wanita Madinah : ”Pada waktu turun ayat dalam surat An Nur ”Hendaklah mereka melabuhkan kerudung mereka ke dada mereka”, suami-suami mereka pulang kembali kepada mereka untuk membacakan apa yang diturunkan Allah mengenai mereka. Setiap orang membacakannya kepada istrinya, anak perempuannya, saudara perempuannya, dan semua kerabat perempuannya. Hingga tidak ada seorang wanita pun dari mereka kecuali menyobek pakaiannya yang bergambar untuk diikatkan dan diselubungkan ke kepalanya”. Wanita-wanita Madinah serta merta menyambar kain apapun didekatnya.

Masyarakat Madinah dibangun atas dasar iman dan ketundukan mutlak kepada Allah. Dan sejarah akan terulang kembali di sini hanya jika individu-individu yang mendominasinya memiliki kualitas sedemikian.
Read More..

Minggu, 22 Februari 2009

Kekuatan Kisah Wanita

Mitologi Troya adalah kisah ketundukan manusia kepada keduniaan. Bukan tentang validitas dan asal usul cerita ini, tapi hikmah di dalamnya. Dikisahkan bahwa bangsa Achaean melakukan serangan besar-besaran terhadap kota Troya. Ratusan kapal mereka berlabuh di pantai Troya membawa raja bersama ribuan tentaranya. Yang terjadi selanjutnya adalah sebuah pertempuran dasyat dan pertumpahan darah. Pada akhirnya kota Troya jatuh, penduduk mereka dibantai, yang hidup dijadikan budak, rumah-rumah dibakar, dan sebuah kota simbol peradaban terpaksa dipenuhi kobaran api, hancur lebur oleh kebengisan kebiadaban.


Maka perhatikan darimana titik mula kejadian Troya. Alasan Achaean menyerang Troya adalah untuk merebut kembali istri raja Sparta, Helen, yang diculik oleh Paris, pangeran Troya. Iya, musnahnya sebuah kota berikut seluruh penduduknya adalah beralasankan karena seorang wanita.


Di belahan bumi lain, telah masyur pula di peradaban Cina sebuah kisah. Raja negara Wu pada abad kelima sebelum masehi mendapatkan upeti dari negara Yu yang telah ditaklukkannya berupa seorang wanita cantik bernama Hsi Shi. Karena terpesonanya dengan Hsi Shi, sang raja terlena dan mengabaikan urusan pemerintahan. Negara Wu menjadi lemah, pada saat itulah negara Yu segera menyerang. Negara Wu jatuh, dikalahkan balik oleh negara Yu.


“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang...” (Ali ‘Imran 14).

Susah pasti ada alasan kenapa Al Qur’an menyebutkan wanita pada urutan pertama dari kecintaan manusia yang bisa menjadikannya lalai. Bagi seorang laki-laki tidak ada fitnah yang lebih berbahaya daripada wanita.


Wanita adalah fitnah yang besar, namun wanita bukanlah racun dunia. Karena racun selalu membawa kematian, namun tidak dengan wanita. Memang sebagian menjadi alat favorit setan, namun tidak sedikit wanita yang memberikan cahaya pada dunia. Sepak terjang mereka dalam kehidupan bak bunga dengan wanginya yang mengharumkan semesta. Mengisi jiwa-jiwa yang membutuhkan inspirasi keluar biasaan dan keteladanan. Berapa banyak dari mereka telah menyuguhkan kisah tentang kasih sayang, tentang keimanan, pengorbanan, keikhlasan, keteguhan, keberanian, sebagian membuat air mata berlinang dalam keharuan dan sebagian yang lain membuat semangat berkobar-kobar dalam kekaguman.


Kekuatan kisah mereka bersumber justru karena kelemahan mereka sebagai seorang wanita. Dengan logika bahwa bagaimana mungkin makhluk yang Allah ciptakan memiliki banyak keterbatasan mampu melakukan hal-hal yang luar biasa ?


Wanita-wanita luar biasa. Dan islam telah memberikan tiga orang diantaranya sebagai sesempurna-sempurna wanita; panutan bagi umat, para ibu, istri, dan para gadis. Penghargaan ini diberikan langsung melalui lisan Rasulullah ”tidak ada wanita yang sempurna kecuali tiga orang, yaitu Maryam binti ’Imran, Asiah isteri Fir’aun, Khadijah binti Khuwailid”. Maka simaklah kisah Maryam yang mengabdikan hidupnya untuk berkhidmad di Baitul Maqdis, kemudian Allah menambah keutamaannya dengan mengandung dan melahirkan Isa. Simaklah pula kisah Asiah yang cerdas, penuh kesabaran dan teguh dalam mempertahankan iman padahal besuamikan Fir’aun yang mengaku dirinya Tuhan, sehingga menyelamatkan Musa kecil dari kekejaman suaminya. Dan ibunda umat islam, Khadijah yang penuh kasih sekaligus kuat dan tegar, yang hartanya habis diinfakkan pada awal da’wah islam.


Islam memuliakan wanita dengan pemuliaan yang semestinya. Bukan sebagaimana para penganut kebebasan liar yang berdalih membebaskan kaum wanita, namun bersamaan dengan itu menjadikan wanita obyek nafsu dan komersialisme. Daripada emansipasi dan persamaan gender, islam memuliakan wanita dengan konsep yang lebih indah; wanita adalah pasangan laki-laki. Saling melengkapi dan mengisi. Karena masing-masing mempunyai celah. Bekerja sama bukan sama-sama bekerja. Menyamakan misi bukan menyamakan peran. Karena tak sempurna keberadaan laki-laki tanpa wanita, dan tak sempurna keberadaan wanita tanpa laki-laki. Dan dunia dibangun melalui keselarasan keduanya.

Read More..

Sabtu, 14 Februari 2009

Bahasa Keimanan

Delapan puluh ribu tentara Thalut telah bertolak menuju peperangan menghadapi Jalut dengan perhitungan kekuatan yang belum juga sepadan meskipun dalam jumlah ini. Kemudian siapa sangka kuantitas ini hampir terpenggal seluruhnya melalui sebuah seleksi ketaatan dan pengendalian nafsu. Sungai Syari’ah hanya menyisakan tiga ratusan orang yang tetap memantapkan langkahnya untuk maju. Yang lain menarik diri dengan tanpa kesanggupan berperang.

Rasional agaknya jika peperangan ini dikategorikan sebagai misi tak masuk akal dengan kemungkinan menang mustahil. Namun tentara Thalut yang tersisa tidak sudi mencukupkan diri dengan analisa berbahasa matematis rasional manusia. Mereka memilih bahasa yang lebih indah ketika kata-katanya diabadikan dalam Al Qur’an “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah, dan Allah beserta orang-orang nan sabar” (Al Baqarah 249). Inilah bahasa keimanan !

Bahasa yang sama digunakan Rasulullah ketika Quraisy menawarkan diplomasi yang menggiurkan. Keusahpayahan menyerukan ketauhidan ditukar dengan kekuasaan dan harta. Namun Quraisy telah meremehkan mentalitas manusia pilihan Allah ini, karena beliau tidak pernah berhitung dalam bahasa dunia. Sehingga jawaban yang telontar menghujam bumi “seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan ini, aku tak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkannya atau aku binasa karenanya!”



Dan adalah Alkhansa dalam bahasa yang sama telah melepas kepergian keempat anaknya dengan untaian kalimat mutiara “lnilah kebenaran sejati, maka untuk itu berperanglah dan demi itu pula bertempurlah sampai mati. Wahai anakku, carilah maut niscaya dianugrahi hidup”. Kemudian saat mendapati semuanya syahid, bukan airmata duka cita yang membasahi pipi ibunda itu, namun sekali lagi perkataan yang meluncur ke langit “Alhamdulillah yang telah memuliakanku dengan syahidnya putra-putraku. Semoga Allah segera memanggiiku dan berkenan mempertemukan aku dengan putra-putraku dalam naungan Rahmat-Nya yang kokoh di surgaNya yang luas”.

Begitu pulalah Anas bin Nadhr saat barisan kaum muslimin tercerai-berai dan satu persatu rebah tanpa nyawa dalam rempalnya pedang-pedang di perang Uhud. Bukan kegentaran dan surut nyali, tapi bahasa yang menakjubkan “Sungguh aku mencium bau harumnya surga di balik bukit Uhud ini”. Akhirnya dia menjemput kemuliaan dengan delapan puluh bekas sabetan pedang beriring tusukan tombak dan anak panah. Jasadnya hancur tak berbentuk dengan hanya menyisakan jari-jari untuk dikenali oleh saudarinya.



Bahasa keimanan jauh melampaui semua logika, menerjang sekat-sekat keterbatasan makhluk untuk meniadakan keberartiannya. Orang-orang yang menguasainya menata semua aspek diri sedemikian sehingga memiliki kemampuan memunculkan kalimat-kalimat keteguhan. Betapa merasuknya dalam dalam ke jiwa, mengisi setiap aliran darah dan potongan kehidupan dengan energi penggerak luar biasa. Dia kadang berubah menjadi ketulusan, kadang juga menjadi keberanian yang menggebu-gebu. Kadang berupa optimisme, kadang juga berupa perisai dari penderitaan dunia. Kadang adalah penafian terhadap dorongan nafsu, kadang adalah ketundukan mutlak kepada Rabb-nya.



Masa demi masa, pengguna bahasa ini muncul sebagai pribadi-pribadi istimewa menakjubkan. Mengisi lembar-lembar sejarah kekaguman oleh kemempesonaan kisahnya. Kegaguman yang persis sama hari-hari lalu telah terutarakan dalam potongan surat Aminah kepada Ummu Muhammad ketika suami dan anaknya syahid dalam sebuah ledakan bom : “apa yang bisa aku katakan kepada seorang wanita yang dalam satu hari kehilangan tiga permata hatinya, dan kemudian hanya mengatakan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, sesungguhnya mereka telah berbahagia di surga”.

Read More..

Minggu, 08 Februari 2009

Ke-immaterialan

Menarik bahwa yang paling berharga dari sebuah benda bukanlah aspek materinya, tapi sesuatu di baliknya yang tersembunyi, immaterial. Dan hanya manusia-manusia yang diberi penglihatan lebih yang mampu menghargai aspek immaterial ini, dia melihat bukan dengan mata kepala tapi dengan mata hati. Karena mata kepala sering menipu, atau tepatnya; tertipu.


Dan begitupun yang paling berharga dari manusia adalah sesuatu dalam dirinya. Bukan akal, karena akal itu dikendalikan oleh sesuatu, dan sesuatu itulah tempat bersemayam harta yang paling berharga bagi seorang manusia, dialah hati. Hati manusia memancarkan keberhargaan dirinya, dan sekali lagi, hanya manusia-manusia tertentu yang bisa melihat keberhargaan itu karena dia menggunakan alat penglihatan yang satu jenis dengan yang dilihat; mata hati.


“Ketahuilah bahwa di dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila dia baik maka baiklah seluruh jasad, dan apabila dia rusak maka rusaklah seluruh jasad, ketahuilah bahwa dia adalah hati”(HR. Bukrari dan Muslim)


Mata hati mencerna penglihatan dengan sentuhan hati, membedah ketersembunyian dalam fenomena semesta dan tindakan makhluk, lalu mensarikannya untuk meneguhkan kebenaran. Kemampuan menemukan immaterial dalam kematerian telah mengantarkan segolongan manusia menduduki kelas elit yang bergelar Ulul Albab. Mereka melihat kemudian mengerahkan akal yang telah terselaraskan dengan hati untuk mengamati tanda-tanda kauniyah.


Pemahaman ini menciptakan kesadaran tentang bagaimana seseorang mengarahkan kemudi kapal kehidupnya. Jika yang dia kejar adalah matahari sebagai sesuatu yang nampak di matanya, maka dia tidak akan pernah sampai. Bahkan jika matahari tenggelam, dia akan berhenti kebingungan. Saat matahari kembali tebit, dia berbalik arah ke tempat semula. Namun jika yang dikejar adalah sebuah pulau harapan yang justru tidak nampak, niscaya dia akan sampai. Yang dibutuhkannya adalah peta dan kompas, perumpamaan dari ilmu yang menjamin manusia tidak tersesat. Dan yang lebih penting dari semuanya adalah keyakinan bahwa pulau itu benar-benar ada. Keyakinan menumbuhkan harapan, dan harapan menciptakan motivasi yang menggerakkan setiap ruas tulang. Keyakinan inilah yang dibahasakan secara menakjubkan oleh islam dengan istilah iman. Dia bersemayam dalam hati, sebuah harta yang paling berharga, yang bahkan tidak cukup ditukar dengan langit, bumi, dan segala sesuatu yang ada diantara keduanya. Perhatikanlah bahwa pendukung-pendukung terpenting perjalanan itu adalah immaterial.


Pada akhirnya, umat ini telah diajarkan untuk tidak menjadikan kematerian sebagai standar, tidak bergantung diri kepada sesuatu yang hanya nampak di hadapannya. Meskipun obyeknya adalah seorang Nabi dan Rasul. Sehingga keputusasaan dan nyarisnya ketergelinciran kaum muslimin sejenak setelah meninggalnya Rasulullah segera dijawab dengan kalimat tegas Abu Bakar ”Barang siapa yang menyembah Muhammad, maka Muhammad telah mati, tapi siapa saja yang menyembah Allah, maka Allah Maha Hidup, tidak akan mati”

Read More..

Membangun Kisah untuk Anak

Pada saatnya nanti, semoga Allah melapangkan, para remaja dan pemuda dari generasi ini akan menjadi seorang ayah atau seorang ibu. Merasakan kasih sayang yang mungkin sekali sekarang belum dipahami saat jiwa terlena dengan kebebasan dan permainannya terhadap kehidupan; kasih sayang terhadap anak, pewaris darahnya. Dan ketika pertama kali makhluk kecil itu menangis dalam pelukannya, sebuah kedewasaan baru serta merta menyelubunginnya, kesadaran akan sebuah tanggung jawab.


Dunia tidak akan dipandang sama lagi, karena saat itu dia tahu bahwa bermainnya harus disudahi demi anaknya. Perasaan ingin melindungi sang anak, membinanya menuju kebahagiaan, menjauhkannya dari bahaya, dan menempatkannya pada wilayah kebaikan pasti dimiliki setiap orang tua. Bahkan seorang penjahat pun menginginkan anaknya menjadi orang baik. Inilah dorongan fitrah sekaligus pembebanan dari Allah melalui lisan Nabi-Nya yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban “Sesungguhnya Allah akan menanyakan kepada setiap pemimpin tentang kepemimpinannya, apakah dia menjaganya ataukah mengabaikannya, hingga Dia akan menanyakan kepada seseorang tentang keluarga rumahnya”


Tanggung jawab pendidikan melekat pada setiap orang tua. Rumah adalah lingkungan terkecil, maka seorang ayah atau ibu adalah guru pertama bagi anak-anaknya. Seorang ibu adalah simbol kasih sayang bagi anaknya. Sedangkan seorang ayah adalah idola pertama anak-anaknya, lebih dari siapapun, kebanggan mereka yang ingin dipamerkan. Maka kisah yang paling disenangi oleh seorang anak, adalah kisah tentang ayahnya atau ibunya.


Jika demikian, adakah kisah yang penuh kebanggaan itu telah disiapkan ? Beranganlah wahai para pemuda, adakah kehidupan, tindak tanduk, dan prestasi kita saat ini telah pantas diceritakan kepada anak-anak kita ? ataukah terpaksa semua itu disimpan karena ketakpantasannya.


Bagaimanakah adanya ketika seorang anak melihat ayahnya di masa muda sedang menikmati tarian seronok setengah telanjang ? Akan pula hancur berkeping-keping kebanggaan seorang anak ketika melihat ayahnya di masa muda mabuk dan tenggelam dalam asap rokok, padahal dia sendiri melarang anaknya melakukan itu. Dan tidak akan tersisa apapun lagi ketika dia melihat ayahnya di masa muda bermalas-malasan, duduk-duduk berdendang nyanyian sementara adzan berkumandang memanggil-manggil.


Dan bagaimana nanti anak-anak kita ketika ibunya sekarang terbiasa pulang larut sehabis berdua-duaan dengan lelaki yang belum juga menjadi suaminya atau untuk suatu urusan yang tidak jelas. Akan seperti apa pula pakaiannya di masa depan, sedangkan ibunya sekarang berlomba-lomba meminimkan kainnya. Aduhai, kiranya dia melihat orang tuanya hari ini masih terlalu banyak tertawa, bersenda gurau dan bermain-main pada hal yang seharusnya disikapi dengan dewasa.


Membangun kisah adalah membangun pribadi, menempatkan diri menjadi seseorang yang pantas ditiru. Menjadi pahlawan bagi anak-anaknya walaupun dengan sesuatu yang paling kecil hingga dia bercerita : ”Ayahku bukan orang kaya, tapi dia tidak pernah sekalipun mencontek”. Cerita yang tidak berhenti hanya sebagai cerita, namun sekaligus tertanam dalam diri anak sebagai bagian dari pendidikannya. Tidak inginkah kita menjadi orang tua yang memiliki kepantasan memberikan nasihat kepada anak-anak kita sebagaimana Luqman memberikan nasihat kepada anak-anaknya :

”Hai anakku, sesungguhnya jika ada (suatu perbuatan) sebesar biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, nisacaya Allah akan mendatangkannya. Sesunguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan” (Luqman 16-17)

Read More..

Selasa, 03 Februari 2009

Pencarian akan Seseorang untuk Dicintai

Hasrat manusia untuk dicintai, dan mencintai. Sebuah keinginan dari dorongan fitrah yang telah dikaruniakan Allah sebagai wujud kasih sayang-Nya. Dilimpahkan sedemkian rupa sehingga ada kalanya dunia seisinya terkalahkan oleh cinta. Orang-orang yang memenuhi hatinya dengan cinta, menjadikan dunia indah dan syahdu oleh romantisme dengan kekasihnya. Jiwa nan berseri, kebahagiaan di setiap raut wajah, dan senyuman yang memenuhi bumi, adalah konsekuensinya.


Berjuta orang telah berusaha mencari cinta sejatinya, semua orang bahkan. Tempat melabuhkan diri, menyandarkan pundaknya dalam kelelahan, dan mengeluhkan resahnya. Seseorang yang setia di sisinya, yang bisa dirindukan ketika tiada, sedangkan hadirnya membawa ketenteraman. Dan ketika manusia bertanya siapa, Allah yang telah menciptakan dengan segala kecenderungannya memberikan jawaban dengan untaian kalimat indah ”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang” (ar-Rum: 21).


Seorang istri adalah belahan jiwa laki-laki, pakaiannya, ladangnya, penyempurna kenikmatannya, dan yang lebih berharga dari segalanya yaitu perhiasannya. ”Sebaik-baik perhiasan adalah istri yang shalilah”, menyejukkan ketika dipandang, menjaga amanah suami dan kehormatan dirinya, penuh cinta dan kasih sayang. Sebuah pribadi yang bahkan menjadikan cemburu bidadari surga.

Setiap orang menginginkannya, namun tidak setiap orang paham bagaimana menemukannya. Pada akhirnya, mereka mencarinya di tempat dan dengan cara yang tidak semestinya, padahal bagaimana mungkin mutiara indah itu berserakan begitu saja di jalanan kumuh nan kotor ? Bagaimana mungkin dia ditemukan sedang berjalan-jalan di mal, bioskop, bar, atau diskotik ? dia tentu juga tidak akan ditemui dalam keluyurannya di larut malam atau sorak-soraknya di konser musik dengan memamerkan apa yang seharusnya disimpannya.


Tidak demikian, bahkan semakin indah mutiara, dia akan semakin menyembunyikan dirinya, tak ingin sembarangan dijamah. Hingga menjamin keistimewaan orang yang berhasil menemukannya. Bukankah perhiasan yang terindah tidak akan pernah pantas dimiliki kecuali oleh orang yang indah pula ? kemuliaan hanya pantas bersanding dengan kemuliaan, maka pantas saja sampai Allah berfirman ”Perempuan-perempuan yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat perempuan-perempuan yang keji pula. Dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik.” (an-Nur; 26).


Sangat mengesankan bahwa suami-isteri dibahasakan dengan kata zaujaani, zauj berarti suami yang berasal dari kata izdiwaj. Apakah izdiwaj itu ? dia bermakna isytibah wat-tawazun yaitu serupa dan seimbang. Maka alangkah dalam bahwa zaujaani berarti dua orang yang serupa dan seimbang. Padahal Allah tiada pernah memandang status keduniaan sebagai ukuran, melainkan Dia melihat kepada kualitas iman. Serupa dan seimbang dalam kualitas iman, kemuliaan dengan kemuliaan, serasi terikat dengan sebuah ikatan nan kuat.


Untuk mendapatkan pasangan yang mulia, seseorang harus berusaha menjadikan dirinya mulia, dalam akhlaq dan ketaatan. Menjaga kehormatan diri, dengan tidak melirik dan melabuhkan cinta pada mutiara-mutiara palsu walaupun bertebaran di sekelilingnya. Agar ketika pada saatnya Allah mendatangkan mutiara terindah itu, dia bisa dicintai dengan cinta yang utuh tak terbagi sia-sia dalam syukur dan bingkai cinta hakiki kepada Allah.

Read More..