Menarik bahwa yang paling berharga dari sebuah benda bukanlah aspek materinya, tapi sesuatu di baliknya yang tersembunyi, immaterial. Dan hanya manusia-manusia yang diberi penglihatan lebih yang mampu menghargai aspek immaterial ini, dia melihat bukan dengan mata kepala tapi dengan mata hati. Karena mata kepala sering menipu, atau tepatnya; tertipu.
Dan begitupun yang paling berharga dari manusia adalah sesuatu dalam dirinya. Bukan akal, karena akal itu dikendalikan oleh sesuatu, dan sesuatu itulah tempat bersemayam harta yang paling berharga bagi seorang manusia, dialah hati. Hati manusia memancarkan keberhargaan dirinya, dan sekali lagi, hanya manusia-manusia tertentu yang bisa melihat keberhargaan itu karena dia menggunakan alat penglihatan yang satu jenis dengan yang dilihat; mata hati.
“Ketahuilah bahwa di dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila dia baik maka baiklah seluruh jasad, dan apabila dia rusak maka rusaklah seluruh jasad, ketahuilah bahwa dia adalah hati”(HR. Bukrari dan Muslim)
Mata hati mencerna penglihatan dengan sentuhan hati, membedah ketersembunyian dalam fenomena semesta dan tindakan makhluk, lalu mensarikannya untuk meneguhkan kebenaran. Kemampuan menemukan immaterial dalam kematerian telah mengantarkan segolongan manusia menduduki kelas elit yang bergelar Ulul Albab. Mereka melihat kemudian mengerahkan akal yang telah terselaraskan dengan hati untuk mengamati tanda-tanda kauniyah.
Pemahaman ini menciptakan kesadaran tentang bagaimana seseorang mengarahkan kemudi kapal kehidupnya. Jika yang dia kejar adalah matahari sebagai sesuatu yang nampak di matanya, maka dia tidak akan pernah sampai. Bahkan jika matahari tenggelam, dia akan berhenti kebingungan. Saat matahari kembali tebit, dia berbalik arah ke tempat semula. Namun jika yang dikejar adalah sebuah pulau harapan yang justru tidak nampak, niscaya dia akan sampai. Yang dibutuhkannya adalah peta dan kompas, perumpamaan dari ilmu yang menjamin manusia tidak tersesat. Dan yang lebih penting dari semuanya adalah keyakinan bahwa pulau itu benar-benar ada. Keyakinan menumbuhkan harapan, dan harapan menciptakan motivasi yang menggerakkan setiap ruas tulang. Keyakinan inilah yang dibahasakan secara menakjubkan oleh islam dengan istilah iman. Dia bersemayam dalam hati, sebuah harta yang paling berharga, yang bahkan tidak cukup ditukar dengan langit, bumi, dan segala sesuatu yang ada diantara keduanya. Perhatikanlah bahwa pendukung-pendukung terpenting perjalanan itu adalah immaterial.
Pada akhirnya, umat ini telah diajarkan untuk tidak menjadikan kematerian sebagai standar, tidak bergantung diri kepada sesuatu yang hanya nampak di hadapannya. Meskipun obyeknya adalah seorang Nabi dan Rasul. Sehingga keputusasaan dan nyarisnya ketergelinciran kaum muslimin sejenak setelah meninggalnya Rasulullah segera dijawab dengan kalimat tegas Abu Bakar ”Barang siapa yang menyembah Muhammad, maka Muhammad telah mati, tapi siapa saja yang menyembah Allah, maka Allah Maha Hidup, tidak akan mati”
0 komentar:
Posting Komentar