Delapan puluh ribu tentara Thalut telah bertolak menuju peperangan menghadapi Jalut dengan perhitungan kekuatan yang belum juga sepadan meskipun dalam jumlah ini. Kemudian siapa sangka kuantitas ini hampir terpenggal seluruhnya melalui sebuah seleksi ketaatan dan pengendalian nafsu. Sungai Syari’ah hanya menyisakan tiga ratusan orang yang tetap memantapkan langkahnya untuk maju. Yang lain menarik diri dengan tanpa kesanggupan berperang.
Rasional agaknya jika peperangan ini dikategorikan sebagai misi tak masuk akal dengan kemungkinan menang mustahil. Namun tentara Thalut yang tersisa tidak sudi mencukupkan diri dengan analisa berbahasa matematis rasional manusia. Mereka memilih bahasa yang lebih indah ketika kata-katanya diabadikan dalam Al Qur’an “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah, dan Allah beserta orang-orang nan sabar” (Al Baqarah 249). Inilah bahasa keimanan !
Bahasa yang sama digunakan Rasulullah ketika Quraisy menawarkan diplomasi yang menggiurkan. Keusahpayahan menyerukan ketauhidan ditukar dengan kekuasaan dan harta. Namun Quraisy telah meremehkan mentalitas manusia pilihan Allah ini, karena beliau tidak pernah berhitung dalam bahasa dunia. Sehingga jawaban yang telontar menghujam bumi “seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan ini, aku tak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkannya atau aku binasa karenanya!”
Dan adalah Alkhansa dalam bahasa yang sama telah melepas kepergian keempat anaknya dengan untaian kalimat mutiara “lnilah kebenaran sejati, maka untuk itu berperanglah dan demi itu pula bertempurlah sampai mati. Wahai anakku, carilah maut niscaya dianugrahi hidup”. Kemudian saat mendapati semuanya syahid, bukan airmata duka cita yang membasahi pipi ibunda itu, namun sekali lagi perkataan yang meluncur ke langit “Alhamdulillah yang telah memuliakanku dengan syahidnya putra-putraku. Semoga Allah segera memanggiiku dan berkenan mempertemukan aku dengan putra-putraku dalam naungan Rahmat-Nya yang kokoh di surgaNya yang luas”.
Begitu pulalah Anas bin Nadhr saat barisan kaum muslimin tercerai-berai dan satu persatu rebah tanpa nyawa dalam rempalnya pedang-pedang di perang Uhud. Bukan kegentaran dan surut nyali, tapi bahasa yang menakjubkan “Sungguh aku mencium bau harumnya surga di balik bukit Uhud ini”. Akhirnya dia menjemput kemuliaan dengan delapan puluh bekas sabetan pedang beriring tusukan tombak dan anak panah. Jasadnya hancur tak berbentuk dengan hanya menyisakan jari-jari untuk dikenali oleh saudarinya.
Bahasa keimanan jauh melampaui semua logika, menerjang sekat-sekat keterbatasan makhluk untuk meniadakan keberartiannya. Orang-orang yang menguasainya menata semua aspek diri sedemikian sehingga memiliki kemampuan memunculkan kalimat-kalimat keteguhan. Betapa merasuknya dalam dalam ke jiwa, mengisi setiap aliran darah dan potongan kehidupan dengan energi penggerak luar biasa. Dia kadang berubah menjadi ketulusan, kadang juga menjadi keberanian yang menggebu-gebu. Kadang berupa optimisme, kadang juga berupa perisai dari penderitaan dunia. Kadang adalah penafian terhadap dorongan nafsu, kadang adalah ketundukan mutlak kepada Rabb-nya.
Masa demi masa, pengguna bahasa ini muncul sebagai pribadi-pribadi istimewa menakjubkan. Mengisi lembar-lembar sejarah kekaguman oleh kemempesonaan kisahnya. Kegaguman yang persis sama hari-hari lalu telah terutarakan dalam potongan surat Aminah kepada Ummu Muhammad ketika suami dan anaknya syahid dalam sebuah ledakan bom : “apa yang bisa aku katakan kepada seorang wanita yang dalam satu hari kehilangan tiga permata hatinya, dan kemudian hanya mengatakan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, sesungguhnya mereka telah berbahagia di surga”.
0 komentar:
Posting Komentar