Umar bin Khattab dihadapkan pada sebuah konflik hati. Sahabat nabi yang masuk dalam jajaran utama ini memerlukan kepastian. Umar yang disegani oleh seluruh orang Arab. Umar yang pernah merasakan pahitnya berteman akrab dengan kejahiliyahan. Kini berhadapan kembali dengan sisa-sisa teman lamanya itu. Allah telah menurunkan pengharaman khamr. Masalahnya, Umar adalah seorang jagoan minum khamr. Sebagaimana bangsa Arab umumnya, yang telah menganggap khamr sebagai minuman sehari-hari. Khamr pada waktu itu sedikit banyak didudukkan layaknya kopi atau teh pada masa sekarang.
Dilema yang luar biasa mendorongnya melantunkan do’a ”ya Allah terangkanlah kepada kami masalah khamr sejelas-jelasnya”. Imam Ahmad meriwayatkan, setelah itu Allah menurunkan sebuah ayat ”Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, pada keduanya itu terdapat dosa besar” (Al Baqarah 219). Umar mendengarkan, tapi dia belum juga mantap. Pertarungan dalam dirinya masih menghendaki penegasan. Umar kembali berdo’a ”ya Allah terangkanlah kepada kami masalah khamr sejelas-jelasnya”. Kemudian Allah kembali menurunkan ayat ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sedangkan kamu dalam keadaan mabuk” (An Nisa 43).
Umar masih belum puas juga dan berdo’a lagi ”ya Allah terangkanlah kepada kami masalah khamr sejelas-jelasnya”. Sekali lagi sebuah ayat diturunkan ”Sesungguhnya syaitan itu bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran khamr dan berjudi, serta menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat. Maka berhentilah kamu !” (Al Maidah 91). Umar dipanggil kemudian dibacakanlah ayat ini. Ketika sampai pada kalimat ”Maka berhentilah kamu !”, Umar tunduk, tak ada lagi persangkaan lain, tak ada lagi celah, hapus sudah semua perlawanan. Allah telah menegaskan perintah-Nya dengan tanpa pintu untuk menghindar. Umar menunjukkan ketaatannya dengan mengatakan ”Kami berhenti... kami berhenti... ”.
Barusan adalah pelajaran tentang totalitas penyerahan diri. Pembuktian kesetian dan cinta. Karena keduanya tidak cukup berhenti di mulut saja. Kesetiaan dan cinta membutuhkan bukti, bukan sekedar kata-kata manis dan sandiwara semu. Hingga jangan sampai ketakwaan bertepuk sebelah tangan. Dan ketika tingkatan telah naik kepada kumpulan manusia, akumulasi dari individu-individu dengan totalitas seperti ini akan menciptakan fenomena yang sukar dipercaya.
Dari individu ke masyarakat. Dari sebuah amal pribadi kepada aksi massa dengan kekuatan berlipat-lipat. Masyarakat yang dibangun dalam kualitas ini, telah membuktikan dirinya mampu mengungguli segala bangsa. Sebagai hasilnya, masyarakat impian yang mengisi hari-harinya dalam keberkahan yang diturunkan Allah dari langit dan bumi. Sehingga bagaimanapun, masyarakat yang berkualitas dibangun dari individu-individu berkualitas.
Dengan cermin yang terang, masyarakat seperti ini pernah benar-benar ada. Masyarakat yang tunduk patuh kepada syari’at Allah, mengharamkan apa yang diharamkan Allah, melakukan apa yang diperintahkan, walaupun harus berbenturan dengan kebiasaan-kebiasaan yang telah mengakar. Adalah Madinah Al Munawarah membuktiannya.
Ketika telah jelas pengharaman khamr, jalan-jalan Madinah banjir khamr. Masyarakat Madinah yang biasa menyimpan khamr dalam bejana-bejana keluar kemudian menumpahkannya di jalan-jalan. Sampai-sampai seorang yang saat itu juga sedang memegang gelas berisi khamr spontan memuntahkannya.
Dan simaklah penuturan Aisyah memuji wanita-wanita Madinah : ”Pada waktu turun ayat dalam surat An Nur ”Hendaklah mereka melabuhkan kerudung mereka ke dada mereka”, suami-suami mereka pulang kembali kepada mereka untuk membacakan apa yang diturunkan Allah mengenai mereka. Setiap orang membacakannya kepada istrinya, anak perempuannya, saudara perempuannya, dan semua kerabat perempuannya. Hingga tidak ada seorang wanita pun dari mereka kecuali menyobek pakaiannya yang bergambar untuk diikatkan dan diselubungkan ke kepalanya”. Wanita-wanita Madinah serta merta menyambar kain apapun didekatnya.
Masyarakat Madinah dibangun atas dasar iman dan ketundukan mutlak kepada Allah. Dan sejarah akan terulang kembali di sini hanya jika individu-individu yang mendominasinya memiliki kualitas sedemikian.
Dilema yang luar biasa mendorongnya melantunkan do’a ”ya Allah terangkanlah kepada kami masalah khamr sejelas-jelasnya”. Imam Ahmad meriwayatkan, setelah itu Allah menurunkan sebuah ayat ”Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, pada keduanya itu terdapat dosa besar” (Al Baqarah 219). Umar mendengarkan, tapi dia belum juga mantap. Pertarungan dalam dirinya masih menghendaki penegasan. Umar kembali berdo’a ”ya Allah terangkanlah kepada kami masalah khamr sejelas-jelasnya”. Kemudian Allah kembali menurunkan ayat ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sedangkan kamu dalam keadaan mabuk” (An Nisa 43).
Umar masih belum puas juga dan berdo’a lagi ”ya Allah terangkanlah kepada kami masalah khamr sejelas-jelasnya”. Sekali lagi sebuah ayat diturunkan ”Sesungguhnya syaitan itu bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran khamr dan berjudi, serta menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat. Maka berhentilah kamu !” (Al Maidah 91). Umar dipanggil kemudian dibacakanlah ayat ini. Ketika sampai pada kalimat ”Maka berhentilah kamu !”, Umar tunduk, tak ada lagi persangkaan lain, tak ada lagi celah, hapus sudah semua perlawanan. Allah telah menegaskan perintah-Nya dengan tanpa pintu untuk menghindar. Umar menunjukkan ketaatannya dengan mengatakan ”Kami berhenti... kami berhenti... ”.
Barusan adalah pelajaran tentang totalitas penyerahan diri. Pembuktian kesetian dan cinta. Karena keduanya tidak cukup berhenti di mulut saja. Kesetiaan dan cinta membutuhkan bukti, bukan sekedar kata-kata manis dan sandiwara semu. Hingga jangan sampai ketakwaan bertepuk sebelah tangan. Dan ketika tingkatan telah naik kepada kumpulan manusia, akumulasi dari individu-individu dengan totalitas seperti ini akan menciptakan fenomena yang sukar dipercaya.
Dari individu ke masyarakat. Dari sebuah amal pribadi kepada aksi massa dengan kekuatan berlipat-lipat. Masyarakat yang dibangun dalam kualitas ini, telah membuktikan dirinya mampu mengungguli segala bangsa. Sebagai hasilnya, masyarakat impian yang mengisi hari-harinya dalam keberkahan yang diturunkan Allah dari langit dan bumi. Sehingga bagaimanapun, masyarakat yang berkualitas dibangun dari individu-individu berkualitas.
Dengan cermin yang terang, masyarakat seperti ini pernah benar-benar ada. Masyarakat yang tunduk patuh kepada syari’at Allah, mengharamkan apa yang diharamkan Allah, melakukan apa yang diperintahkan, walaupun harus berbenturan dengan kebiasaan-kebiasaan yang telah mengakar. Adalah Madinah Al Munawarah membuktiannya.
Ketika telah jelas pengharaman khamr, jalan-jalan Madinah banjir khamr. Masyarakat Madinah yang biasa menyimpan khamr dalam bejana-bejana keluar kemudian menumpahkannya di jalan-jalan. Sampai-sampai seorang yang saat itu juga sedang memegang gelas berisi khamr spontan memuntahkannya.
Dan simaklah penuturan Aisyah memuji wanita-wanita Madinah : ”Pada waktu turun ayat dalam surat An Nur ”Hendaklah mereka melabuhkan kerudung mereka ke dada mereka”, suami-suami mereka pulang kembali kepada mereka untuk membacakan apa yang diturunkan Allah mengenai mereka. Setiap orang membacakannya kepada istrinya, anak perempuannya, saudara perempuannya, dan semua kerabat perempuannya. Hingga tidak ada seorang wanita pun dari mereka kecuali menyobek pakaiannya yang bergambar untuk diikatkan dan diselubungkan ke kepalanya”. Wanita-wanita Madinah serta merta menyambar kain apapun didekatnya.
Masyarakat Madinah dibangun atas dasar iman dan ketundukan mutlak kepada Allah. Dan sejarah akan terulang kembali di sini hanya jika individu-individu yang mendominasinya memiliki kualitas sedemikian.
0 komentar:
Posting Komentar