Jumat, 20 Maret 2009

Jalan Hidup Sepetik Bunga

Lihatlah sepetik bunga. Dahulu ia hanyalah kuncup tanpa pesona. Tak ada mata yang melirik. Keberadaannya adalah beban bagi tangkai kecil yang menopangnya. Juga bagi daun, batang, dan akar yang harus bekerja menghidupinya. Dia hidup dalam selimut hijau yang menghijabnya dari sekeliling. Dia tak mengenal dunia, dan dunia pun tak mengenalnya. Hingga jika tidak beruntung, dia akan terinjak hancur oleh kaki-kaki binatang. Atau termakan begitu saja oleh mulut-mulut kelaparan mereka. Kuncup yang tak menarik sama sekali, dan begitulah adanya kuncup. Namun kuncup adalah kotak peyimpanan.

Suatu hari terbukalah kuncup itu. Menyingkap keindahan yang menyapa dunia. Berseri, itulah bunga. Harumnya semerbak, mengundang setiap makhluk mendekat. Menghiasai padang rumput dengan warna-warninya bagaikan kaca-kaca berkilauan yang menguraikan cahaya matahari. Atau pecahan-pecahan pelangi yang turun ke daratan. Mahkotanya dicari untuk melambangkan cinta, kedamaian, dan persaudaraan. Kemudian lebah menghampirinya karena sang bunga menyimpan bahan pembuat sebaik-baik makanan, yaitu madu. Keindahannya mengundang keindahan lain, kupu-kupu bertaburan. Kini jika seseorang hendak mengambilnya, dia akan memetiknya dengan penuh kelembutan tanpa menyakiti.

Namun hari terus berganti. Sang bunga telah kelelahan. Satu persatu mahkotanya jatuh, melucuti keindahannya. Wanginya menghambar. Tak ada lagi yang mendekat. Warnanya perlahan memudar, menjadi kuning pucat, dan akhirnya baju-bajunya kering tergeletak di tanah. Kembalilah dia menjadi lemah, tanpa pesona. Tak ada yang mengenalnya lagi, meskipun dia telah mengenal dunia. Pada akhirnya semua harus dia tinggalkan. Kebanggaan dan semua yang pernah dimilikinya kini hanya tinggal masa lalu.

Seandainya hati memperhatikan untuk merenungkannya, maka simaklah Allah berfirman “Katakanlah; Ya Allah, Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yag hidup. Dan Engkau beri rizki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab” (Ali Imran 26-27).

Hikmah yang dalam bahkan bisa diambil dari hal terdekat. Allah menciptakan ayat kauniyah yang bertaburan tak terbatas. Simaklah sang bunga, dan begitulah adanya kehidupan manusia. Lahir dalam keadaan tak berdaya dan lemah. Kemudian ada saatnya Allah membalikkan keadaannya. Memberikan rizki dan menjadikannya memiliki kekuatan, harta, kecantikan, kekuasaan, kecerdasan, apapun yang menjadikannya berdiri kokoh di muka bumi.

Dan Allah, sungguh akan mengambil semuanya kembali. Menyisakannya menjadi tua dan lemah. Kekuatannya hilang, hartanya menipis, kecantikannya mengeriput, kekuasaannya tergantikan, dan kecerdasannya menjadi kepikunan. Dan akhirnya kematian menjemput. Andaikata semuanya berakhir seperti ini, sungguh menyedihkan nasib manusia ini.

Namun gugurnya keindahan bunga bukan akhir baginya. Jika dia berbuat hal yang benar selama menjadi bunga, maka dia akan berubah menjadi buah. Tapi jika dia terlalaikan oleh keagungan dirinya, maka dia akan membusuk. Dan bukankah tujuan keberadaan bunga adalah memang untuk menjadi buah ? Sebagaimana keberadaan manusia di dunia adalah untuk meraih alam sesudah dunia. Sesungguhnya hidup ibarat menyusuri sebuah jalan. Dan setiap orang pasti akan sampai di ujungnya. Masalahnya, apa yang dilakukan selama perjalanan akan menentukan apa yang akan ditemui di ujung jalan. Apakah manisnya buah atau pahitnya kehinaan.

Read More..

Jumat, 13 Maret 2009

Segerakan Cinta

“I’am LEGEND”. Film ini berisi sebuah hikmah mengharukan. Dikisahkan bahwa Robert Neville, tokoh utama dalam film ini adalah satu-satunya manusia yang tersisa. Sebuah virus telah membunuh seluruh penduduk bumi. Jikapun masih ada yang hidup, maka dia telah menjadi mahluk tanpa jati diri tak ubahnya binatang buas. Settingnya di kota New York, dimana rumah, gedung, mobil, dan semua gemerlap kota ini masih utuh. Hanya saja tanpa satupun manusia.

Tiga tahun Neville hidup dalam kesendirian. Setiap hari dia pergi ke tepi pelabuhan, berharap ada seseorang di sana. Kesepian. Dia sengaja menata boneka etalase di sebuah pertokoan untuk disapa. Dia ajak bicara, bercanda. Meskipun dia pun tahu, tidak satupun yang akan membalas. Dan ketika seekor anjing yang selama ini menjadi satu-satunya teman juga harus mati, kesedihannya mencapai puncak. Seluruh dunia adalah miliknya. Bebas melakukan apapun. Bebas mengambil apapun. Tapi dia tidak memiliki siapapun.

Kesendirian adalah kepedihan. Perih hati yang naik memerihkan tenggorokan. Merambat berupa loncatan loncatan super kecil melewati kulit. Memerindingkan. Normalnya setiap kesedihan hilang dalam pelukan orang-orang yang engkau kasihi. Tapi dalam kesedihan karena kesendirian, engkau tak akan menemukan siapapun. Engkau menanggungnya sendiri, melipatkannya ratusan kali. Hingga jika tak kuat hati menahannya, kiranya kematian mungkin jauh lebih menyenangkan.

Sesungguhnya fitrah manusia tak menghendaki kesendirian. Fitrah yang tentu saja dimengerti oleh penciptanya. Maka Allah menciptakan Hawa sebagai teman bagi Adam. Sehingga Adam tak lagi sendirian. Keduanya beranak cucu, melahirkan generasi demi generasi yang mendiami bumi. Namun, ancaman kesendirian ternyata tak juga hilang. Bukankah engkau juga tahu bahwa kesendirian bisa muncul bahkan dalam keramaian ?

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu dan darinya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya engkau saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu” (An Nisa 1). Ibnu Katsir menerangkan bahwa diri yang satu merujuk pada Adam. Kini engkau dapat merenung, mengapa Allah menganjurkan memelihara silaturrahim sesudah mengingatkan tentang perkembangbiakan manusia ?

Manusia telah memenuhi bumi. Logikanya mudah, jika engkau tidak memelihara silaturrahim, maka engkau akan sendiri dalam keramaian. Kesepian dalam lalu lalang manusia. Maka berhati-hatilah, betapa banyak orang lebih rela mengkhianati teman-temannya dengan alasan meraih kesuksesan. Berapa banyak pula ayah yang selalu menginggalkan putra putrinya dengan alasan meniti karir. Dan berapa banyak yang mengabaikan untuk menuangkan pelukan cinta kepada saudaranya. Bukankah hampir-hampir menjadi kewajaran mengorbankan manusia demi harta benda ?

Dan perhatikan apa yang terjadi ketika orang-orang ini telah mencapai puncak. Teman-temannya telah tiada, keluarganya jauh darinya, saudaranya meninggalkannya. Yang tersisa hanya kekosongan, kesendirian, dan kesepian. Ruang hatinya sunyi hampa tak bersuara. Mereka memiliki semuanya, tapi tidak memiliki siapapun. Maka jika engkau memiliki orang-orang yang engkau kasihi, limpahkanlah cintamu selagi mereka masih di sisimu. Karena jika suatu saat nanti yang engkau bisa lakukan hanyalah merindukannya, maka itu akan sangat menyakitkan.

Segerakanlah ungkapan kasih agar tak terlambat kelak. Imam Ahmad telah meriwayatkan sebuah teladan penyegeraan ini dari Anas bin Malik : “Aku sedang duduk-duduk di sisi Rasulullah. tiba-tiba seorang laki-laki lewat. Seseorang dari yang sedang duduk bersama Rasulullah. mengatakan, ‘Ya Rasulullah, aku mencintai orang itu’. Rasulullah mengatakan, ‘Sudahkah kamu menyatakannya kepadanya?’ Orang itu menjawab, ‘Belum.’ Kata Rasulullah, ‘Bangunlah dan nyatakanlah kepadanya.” Maka orang itu bangkit menuju ke arahnya seraya mengatakan, ‘aku mencintaimu karena Allah’ Orang itu menjawab, ‘semoga mencintaimu pula (Allah) Yang karena-Nya kamu mencintaiku.

Read More..

Minggu, 01 Maret 2009

Individu Pembangun Masyarakat

Umar bin Khattab dihadapkan pada sebuah konflik hati. Sahabat nabi yang masuk dalam jajaran utama ini memerlukan kepastian. Umar yang disegani oleh seluruh orang Arab. Umar yang pernah merasakan pahitnya berteman akrab dengan kejahiliyahan. Kini berhadapan kembali dengan sisa-sisa teman lamanya itu. Allah telah menurunkan pengharaman khamr. Masalahnya, Umar adalah seorang jagoan minum khamr. Sebagaimana bangsa Arab umumnya, yang telah menganggap khamr sebagai minuman sehari-hari. Khamr pada waktu itu sedikit banyak didudukkan layaknya kopi atau teh pada masa sekarang.

Dilema yang luar biasa mendorongnya melantunkan do’a ”ya Allah terangkanlah kepada kami masalah khamr sejelas-jelasnya”. Imam Ahmad meriwayatkan, setelah itu Allah menurunkan sebuah ayat ”Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, pada keduanya itu terdapat dosa besar” (Al Baqarah 219). Umar mendengarkan, tapi dia belum juga mantap. Pertarungan dalam dirinya masih menghendaki penegasan. Umar kembali berdo’a ”ya Allah terangkanlah kepada kami masalah khamr sejelas-jelasnya”. Kemudian Allah kembali menurunkan ayat ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sedangkan kamu dalam keadaan mabuk” (An Nisa 43).

Umar masih belum puas juga dan berdo’a lagi ”ya Allah terangkanlah kepada kami masalah khamr sejelas-jelasnya”. Sekali lagi sebuah ayat diturunkan ”Sesungguhnya syaitan itu bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran khamr dan berjudi, serta menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat. Maka berhentilah kamu !” (Al Maidah 91). Umar dipanggil kemudian dibacakanlah ayat ini. Ketika sampai pada kalimat ”Maka berhentilah kamu !”, Umar tunduk, tak ada lagi persangkaan lain, tak ada lagi celah, hapus sudah semua perlawanan. Allah telah menegaskan perintah-Nya dengan tanpa pintu untuk menghindar. Umar menunjukkan ketaatannya dengan mengatakan ”Kami berhenti... kami berhenti... ”.

Barusan adalah pelajaran tentang totalitas penyerahan diri. Pembuktian kesetian dan cinta. Karena keduanya tidak cukup berhenti di mulut saja. Kesetiaan dan cinta membutuhkan bukti, bukan sekedar kata-kata manis dan sandiwara semu. Hingga jangan sampai ketakwaan bertepuk sebelah tangan. Dan ketika tingkatan telah naik kepada kumpulan manusia, akumulasi dari individu-individu dengan totalitas seperti ini akan menciptakan fenomena yang sukar dipercaya.

Dari individu ke masyarakat. Dari sebuah amal pribadi kepada aksi massa dengan kekuatan berlipat-lipat. Masyarakat yang dibangun dalam kualitas ini, telah membuktikan dirinya mampu mengungguli segala bangsa. Sebagai hasilnya, masyarakat impian yang mengisi hari-harinya dalam keberkahan yang diturunkan Allah dari langit dan bumi. Sehingga bagaimanapun, masyarakat yang berkualitas dibangun dari individu-individu berkualitas.

Dengan cermin yang terang, masyarakat seperti ini pernah benar-benar ada. Masyarakat yang tunduk patuh kepada syari’at Allah, mengharamkan apa yang diharamkan Allah, melakukan apa yang diperintahkan, walaupun harus berbenturan dengan kebiasaan-kebiasaan yang telah mengakar. Adalah Madinah Al Munawarah membuktiannya.

Ketika telah jelas pengharaman khamr, jalan-jalan Madinah banjir khamr. Masyarakat Madinah yang biasa menyimpan khamr dalam bejana-bejana keluar kemudian menumpahkannya di jalan-jalan. Sampai-sampai seorang yang saat itu juga sedang memegang gelas berisi khamr spontan memuntahkannya.

Dan simaklah penuturan Aisyah memuji wanita-wanita Madinah : ”Pada waktu turun ayat dalam surat An Nur ”Hendaklah mereka melabuhkan kerudung mereka ke dada mereka”, suami-suami mereka pulang kembali kepada mereka untuk membacakan apa yang diturunkan Allah mengenai mereka. Setiap orang membacakannya kepada istrinya, anak perempuannya, saudara perempuannya, dan semua kerabat perempuannya. Hingga tidak ada seorang wanita pun dari mereka kecuali menyobek pakaiannya yang bergambar untuk diikatkan dan diselubungkan ke kepalanya”. Wanita-wanita Madinah serta merta menyambar kain apapun didekatnya.

Masyarakat Madinah dibangun atas dasar iman dan ketundukan mutlak kepada Allah. Dan sejarah akan terulang kembali di sini hanya jika individu-individu yang mendominasinya memiliki kualitas sedemikian.
Read More..