Pada saatnya nanti, semoga Allah melapangkan, para remaja dan pemuda dari generasi ini akan menjadi seorang ayah atau seorang ibu. Merasakan kasih sayang yang mungkin sekali sekarang belum dipahami saat jiwa terlena dengan kebebasan dan permainannya terhadap kehidupan; kasih sayang terhadap anak, pewaris darahnya. Dan ketika pertama kali makhluk kecil itu menangis dalam pelukannya, sebuah kedewasaan baru serta merta menyelubunginnya, kesadaran akan sebuah tanggung jawab.
Dunia tidak akan dipandang sama lagi, karena saat itu dia tahu bahwa bermainnya harus disudahi demi anaknya. Perasaan ingin melindungi sang anak, membinanya menuju kebahagiaan, menjauhkannya dari bahaya, dan menempatkannya pada wilayah kebaikan pasti dimiliki setiap orang tua. Bahkan seorang penjahat pun menginginkan anaknya menjadi orang baik. Inilah dorongan fitrah sekaligus pembebanan dari Allah melalui lisan Nabi-Nya yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban “Sesungguhnya Allah akan menanyakan kepada setiap pemimpin tentang kepemimpinannya, apakah dia menjaganya ataukah mengabaikannya, hingga Dia akan menanyakan kepada seseorang tentang keluarga rumahnya”
Tanggung jawab pendidikan melekat pada setiap orang tua. Rumah adalah lingkungan terkecil, maka seorang ayah atau ibu adalah guru pertama bagi anak-anaknya. Seorang ibu adalah simbol kasih sayang bagi anaknya. Sedangkan seorang ayah adalah idola pertama anak-anaknya, lebih dari siapapun, kebanggan mereka yang ingin dipamerkan. Maka kisah yang paling disenangi oleh seorang anak, adalah kisah tentang ayahnya atau ibunya.
Jika demikian, adakah kisah yang penuh kebanggaan itu telah disiapkan ? Beranganlah wahai para pemuda, adakah kehidupan, tindak tanduk, dan prestasi kita saat ini telah pantas diceritakan kepada anak-anak kita ? ataukah terpaksa semua itu disimpan karena ketakpantasannya.
Bagaimanakah adanya ketika seorang anak melihat ayahnya di masa muda sedang menikmati tarian seronok setengah telanjang ? Akan pula hancur berkeping-keping kebanggaan seorang anak ketika melihat ayahnya di masa muda mabuk dan tenggelam dalam asap rokok, padahal dia sendiri melarang anaknya melakukan itu. Dan tidak akan tersisa apapun lagi ketika dia melihat ayahnya di masa muda bermalas-malasan, duduk-duduk berdendang nyanyian sementara adzan berkumandang memanggil-manggil.
Dan bagaimana nanti anak-anak kita ketika ibunya sekarang terbiasa pulang larut sehabis berdua-duaan dengan lelaki yang belum juga menjadi suaminya atau untuk suatu urusan yang tidak jelas. Akan seperti apa pula pakaiannya di masa depan, sedangkan ibunya sekarang berlomba-lomba meminimkan kainnya. Aduhai, kiranya dia melihat orang tuanya hari ini masih terlalu banyak tertawa, bersenda gurau dan bermain-main pada hal yang seharusnya disikapi dengan dewasa.
Membangun kisah adalah membangun pribadi, menempatkan diri menjadi seseorang yang pantas ditiru. Menjadi pahlawan bagi anak-anaknya walaupun dengan sesuatu yang paling kecil hingga dia bercerita : ”Ayahku bukan orang kaya, tapi dia tidak pernah sekalipun mencontek”. Cerita yang tidak berhenti hanya sebagai cerita, namun sekaligus tertanam dalam diri anak sebagai bagian dari pendidikannya. Tidak inginkah kita menjadi orang tua yang memiliki kepantasan memberikan nasihat kepada anak-anak kita sebagaimana Luqman memberikan nasihat kepada anak-anaknya :
”Hai anakku, sesungguhnya jika ada (suatu perbuatan) sebesar biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, nisacaya Allah akan mendatangkannya. Sesunguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan” (Luqman 16-17)
0 komentar:
Posting Komentar